BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Avetrbrata air dapat di definisikan sebagai
hewan yang tidak bertulang belakang, yang sebagian atau seluruh hidupnya hidup
dalam air. Pengetahuan megnenai hewan avetrbrat yang hidupnya di air merupakan
salah satu ilmu dasar dalam mempelajari ilmu-ilmu dibidang perikanan. Karena
bidang perikanan tidak hanya mencakup studi
pemeliharaan ke hidupan yang berbeda di dalam perairann ikan serta cara
menangakapnya saja, namun juga menyangkut seluru termasuk avetrbrata air. Seluruh
kehidupan yang berbeda di dalam perairan
membentuk suatu hubungan keterkaitan antarah suatu dengan yang lainya. (noti,
1993).
Secarah
garis besar, lingkungan hewan avterbrata
air dapat di bagi menjadi dua, yaitu lingkungan airlaut dan tawar. Air
laut merupakan perairan yang memiliki salinitas antara 34 0/00
- 35 0/00 dan memiliki kestabilan lingkungan yang
tinggi. pada permukaan air laut menduduki 71% dari seluruh permukaan bumi.
Serta lingkungan air laut merupakan lingkungan yang homogeny. Namun, kehidupan
hewan avetrbrata air tidak dapat tersebar merata, karenah berpengaruh kepada
factor fisika dan kimia air (Kimball, 1993)
Penggolongan
hewan – hewan terutama didasarkan pada kesamaan-kesamaan struktur dan
fisiologinya. Dalam hubungan ini, ada 4 kriteria yaitu pola simetri tubuh dan
bentuk tubuh, perbedaan perkembangan embri, dan aspek tertentu yang diianggap
penting sebagai tannda pembeda. Kingdom animallia dibagi menjadi dua sub
kingdom, yaitu (1) Parazoa, yaitu hewan yang belum mempunyai
jaringan dan (2) Eumetazoa, yaitu hewan–hewan yang sudah mempunyai
jaringan (Anonim 2009: 1)
Hewan adalah organisme yang tidak mempunyai klorofil, mampu bergerak atau
setidak-tidaknya mengerakkan tubuh dengan cara mengerutkan
serabut-serabut dan multiseluler. Beberapa organisme tidak memenuhi kriteria,
tetapi memperlihatkan persamaan dengan sifat tersebut , sehingga kita dapat
mengenalnya sebagai hewan. Dunia hewan pada umumnya dibagi menjadi lebih 25 –
30 phylum yang berbeda. Hewan yang mempunyai sifat ditas, tetapi tidak
mempunnyai tulang belakang yang secara umum disebutkan diatas tadi yaitu hewan
invertebrate. Penggolongan hewan – hewan terutama diidasarkan pada kesamaan –
kesamaan struktur dan fisiologinya (Masribut 1998: 43).
Semua
hewan yang tidak memiliki tulang belakang dikelompokkan dalam Invertebrata (avertebrata). Hewan invertebrata ada
yang tersusun oleh satu sel (uniseluler) dimana seluruh aktivitas kehidupannnya
dilakukan oleh sel itu sendiri. Sedangkan hewan invertebrata yang tersusun oleh
banyak sel (multiseluler/metazoa) sel-selnya mengalami deferensiasi dan
spesialisasi membentuk jaringan dan organ tubuh dan aktivitasnya
semakin komplek (Pechenik 2000: 150).
2.1
Tujuan
Adapun
tujuan dari parktikum ini adalah sebagai berikut :
a). untuk
megidentifikasi kepitng bakau (Scylla
setrat) dan keong bakau (Telescopium
telescopium) yang ada di sekitar mangrove.
b) untuk
mengetahi morfologi cara hidup kepiting bakau (Scylla serta) dan keong
bakau (cappuccino faunus ater).
3.1
Manfaat
Adapun manfaat dari praktikum ini
adalah sebagai berikut :
Untuk
memberikan informasi tentang bagai mana carah hidup kepiting bakau (Scylla serat)a dang keong bakau (cappuccino faunus ater) sehingga dapat
bermanfaat bagi penyusun sendiri dan juga bagi parah pembaca skalian untuk
dapat memerlukanya.
BAB
II
TUJUAN
PUSTAKA
2.1
Kepiting
bakau (Scylla serrata)
Kepiting bakau
telah menjadi komoditas
perikanan penting di
Indonesia sejak awal
tahun 1980-an. Perikanan
kepiting bakau di
Indonesia diperoleh dari
penangkapan stok alam di perairan pesisir, khususnya di area mangrove
atau estuaria dan dari
hasil budidaya di
tambak air payau.
Akhir-akhir ini, dengan
semakin meningkatnya nilai
ekonomi perikanan kepiting, penangkapan kepiting bakau juga semakin meningkat. Namun bersamaan dengan
itu, rata-rata pertumbuhan produksi
kepiting bakau di beberapa provinsi
penghasil utama kepiting
bakau justru agak
lambat
dan cenderung menurun (CHOLIK 1999).
Kepiting bakau
yang bernilai sebagai sumber
makanan dan pendapatan
di Kosrae, Negara Bagian Micronesia,
juga mengalami deplesi kelimpahan dan ukuran,
akibat tekanan penangkapan yang dipengaruhi oleh distribusi penduduk dan
lokasi usaha perikanan
komersial (BONINE et al. 2008).
Penurunan populasi kepiting
bakau di alam diduga disebabkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan
kelebihan tangkap (over exploitation)(SIAHAINENIA 2008).
Populasi kepiting bakau secara khas berasosiasi dengan hutan bakau yang
masih baik, sehingga hilangnya habitat akan memberikan dampak yang
serius pada populasi kepiting.
Status bioekologi kepiting
bakau yang berhubungan
dengan biologi populasi
dan pengelolaannya perlu
dipahami untuk mendukung
pengembangan dari perikanan
tangkap dan budidaya
kepiting bakau yang
berkelanjutan (LE VAY 2001). Pertumbuhan,
mortalitas, rekruitmen dan
laju eksploitasi kepiting bakau
dapat digunakan untuk menentukan tingkat penangkapan optimum (MSY) yang merupakan landasan dalam kebijakan
pengelolaan penangkapan kepiting bakau (SPARRE & VENEMA 1999).
2.2
Keong
bakau (Telescopium telescopium)
Sumpil
termasuk ke dalam phylum mollusca,
nama ini cukup terkenal terutama di pedesaan bahkan karena terkenalnya sampai
ada desa yang bernama Sumpilan (Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman). Sumpil
kerap ditemukan hidup di kali atau sungai Van der Wijk, juga di areal
persawahan. Dulu sewaktu penulis masih kecil, sering sekali menjumpai dan
‘dolanan’ Sumpil ini terutama sewaktu mandi di sungai. Tapi sekarang penulis
sudah tidak menemukan hewan ini di sungai, penulis menduga karena adanya
peningkatan penggunaan pestisida atau bahan kimia lainnya baik dari industry
maupun berasal dari rumah tangga menyebabkan menurunnya populasi Sumpil ini (irmawati
2005).
Terdapat
banyak jenis Sumpil baik yang biasa hidup di air laut maupun air tawar. Penulis
sendiri sampai bingung untuk mengklasifikan Sumpil yang akan penulis ceritakan
ke dalam Taxonomynya. Penulis masih ragu apakah Sumpil ini termasuk Melania
Testudinaria atau termasuk Faunus Ater untuk lebih jelasnya silahkan , Sumpil
yang penulis akan ceritakan ini menyukai air tawar yang segar (freshwater),
biasanya Sumpil jenis ini banyak terdapat dijumpai di pingir-pingir aliran air
yang deras seperti grojogan/curug/air terjun. Sumpil (Faunus aster)sangat mudah
dibedakan dengan Achatina fulica (bekicot) maupun Lymnaea (siput sawah), karena
mantel (cangkang) sumpil berbentuk kerucut lancip dan kecil. Cangkang sumpil
berwarna hitam polos, walaupun jenis lain ada yang berwarna kecoklatan dengan
bintik-bintik hitam maupun coklat yang lebih tua (Anonim 2007: 1).
Sumpil
berjalan menggunakan perut yang berotot, disebut “kaki”. Kaki bagian depan
memiliki kelenjar untuk menghasilkan lendir guna mempermudah gerakan. Jika
hewan ini berjalan, akan meninggalkan bekas dari lendirnya yang mengering.
Kepala terletak di depan dan terdapat sepasang tentakel panjang dan sepasang
tentakel pendek. Pada tentakel panjang terdapat bintik mata (tidak disebut
maka, karena memang bukan mata seperti mata manusia).
BAB
III
METODE
PRAKTEK
3.1
Tempat
dan waktu
Adapun
pelaksana praktikum ini dilaksanakan pada tangal 28 November 2015 pada pukul
13.00 sampai dengan selesai. Bertempat di Desa Kota jin. pantai
minaga Kecamatan Atinggola. Kabupaten Gorontalo Utara.
3.2
Alat dan Bahan
Adapun alat dan
bahan yang di gunakan dalam praktikum ini yaitu sebagai berikut :
a)
Alat
No
|
Nama alat
|
Fungsi
|
1
|
Tali rapia
|
Untuk membat kuadran 1X 1
|
2
|
Kertas Sampel (tas plastik kecil )
|
Untuk
Mengumpulkan Jenis Jenis Biota Yang Ada Dalam Transkep
|
3
|
Meteran
|
Untuk
mengukur kuadran
|
4
|
alat
tulis menulis
|
Di
gunakan untuk memcatat
|
5
|
Kamera
|
Sebagai
dokumentasi
|
6
|
sabak (papan ujian computer )
|
Tempat
untuk mengambar jenis jenis hewan
|
b)
Bahan
Adapun
bahan yang di gunakakn pada saat praktikum sebagai berikut :
No
|
Bahan
|
Fungsi
|
1
|
Daera
pantai
|
Mengidengtifikasi
hewan avetrbrata air.
|
2
|
Daerah
mangrov
|
Menidebtifikasi
hewan avetrbrata air.
|
3.3
Prosedur
keerja
a). setiap praktikan memasang patok, kemudian
patok tersebut di ikat dengan tali raffia sehingga berbentuk persegi dengan
ukuran 1 X 1 meter.
b). kemudian setiap praktikan, mencari
organism avetrbrata peraiaran di lokasi praktek.
c) setiap kelompok praktikum melakukan
identifikasi organism perairan (avetrbrata air) yang di temui di lokasi praktek
dan mengklasifikasi organism avetrbrata air yang di temui sesuai dengan filum
serta kelasnya (hitung jumblah oragnismenya).
d) kemudian menjelaskan ciri-ciri, carah
hidup, habitat hidup organism yang di temui. Menjelaskan peranan organism
perairan yang di temui khususnya dalam bidang perairan .
e) semua data hasil pengamatan pada lokasi
praktek di masukan pada BAB HASIL DAN PEMBAHASAN sesuai dengan bidangnya.serta
mendokumentasikan serta mengambar setiap specimen sampel yang anda temui di
lokasi praktek,
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
HASIL
No
|
Gambar
|
Jenis
|
Jumblah
|
1
11
|
|
Kepiting bakau (Scylla serata)
|
2
|
2
22
|
|
Keong
bakau (cappuccino faunus ater)
|
6
|
4.2
PEMBAHASAN
4.2.1 Kepiting Bakau (Scylla
serata)
a)
Klasifikasi
Filum
:
artropoda
Subfilum : mandibula
Kelas : crustacea
Subkelas : malacostraca
Tribe : eumalakostraca
Subtibe : eucarida
Ordo : decapoda
Subordo : pleocyemata
Suku : brachyuran
Family : portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
Subfilum : mandibula
Kelas : crustacea
Subkelas : malacostraca
Tribe : eumalakostraca
Subtibe : eucarida
Ordo : decapoda
Subordo : pleocyemata
Suku : brachyuran
Family : portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata
b)
Habitat
kepiting bakau (Scylla serrata)
Menurut
Ghufron (1997) dalam pertumbuhanya semua jenis kepiting sering berganti kulit
(moulting). Habitat kepiting bakau tergantung dari luar hidupnya, dalam menjalani
hidupnya kepiting beruaya dari perairan pantai keperairan laut, kemudian induk
dan anak-anaknya kembali keperairan pantai, muara-muara sungai atau hutan
bakau. Kepiting yang siap melakukan perkawinan akan masuk ke perairan hutan
bakau atau tambak, setelah melakukan
perkawinan itu, kepiting betina perlahan-lahan meningalkan pantai untuk
berpijah, setelah telur menetas maka muncul larfa tinggkat 1 (Zoea 1) dan terus menerus bergan ti kulit sambil
terbawa arus keperairan pantai.
c)
Morfologi
kepiting bakau (Scylla serrata)
Kepiting
bakau memiliki ukuran lebar karapas lebih besar dari pada ukuran panjang
tubuhnya dengan permukaanya agak licin. Pada dahi antarah sepasang matanya
terdapat enam buah duri dan di simpan kanan serta kirinya terdapat Sembilan buah
duri. Kepiting bakau jantan mempunyai sepasag capit yang dapat mencapai panjang
hamper dua kali lipat daripada panjang karapasnya,sedangkan kepiting bakau
betina relative lebih pendek. Selain itu, kepiting bakau juga memiliki 3 pasang
kaki jalan dan sepasang kaki renang. Kepiting baku berjenis kelamin jantan di
tandai dengan abdomentbagian bawa berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada
betina kepiting bakau melebar (soim 1994).
d)
Organ-organ
dalam
Berdasarkan
anatomi tubuh bagian dalam, mulut kepiting terbuka dan terletak pada bagian
bawah tubuh. Beberapa bagian yang terdapat di sekitar mulut berfungsi dalam
memegang makanan dan juga memompakan air dari mulut ke ingsang. Kepiting
memiliki rangka luar yang keras sehingga mulutnya tidak dapat di buka lebar.
Hal inimenyebapkan kepiting lebih banyak mengunakan sapit dalam memperoleh
mkanan. Makanan yang di peroleh di hancurkan dengan mengunakan sapit, kemudian
baru di makan (shimek 2008).
e)
Cirri-ciri
Deskripsi
kepiting bakau menurut rosmaniar (2008), family portumudaye merupakan family
kepiting bakau yang memiliki lima pasang kaki. Pasang kaki kelima berbentuk
pipi dan melebar pada ruas terakhir. Karapsa atau cagak cembung berbentuk
hksagonal atau agak persegi. Bentuk ukuran bulat telur memanjang atau berbentuk
kebulatan, tapi anteorateral, bergigi lima sampai Sembilan buah. Dahi lebar
terpisah dengan jelas dari sudut intra orbital, bergigi dua sampai enam buah,
bersungut kecil terletak terlintang atau menyerong. Pasang kaki terakhir
berbentuk pipih menyerupai duyung. Terutama ruas terakhir, dan mempunyai tiga
pasang kaki jalan.
Kepiting
bakau Scylla serata memiliki bentuk
morfologi yang bergerigi, serta memiliki karapas dengan empat gigi depan tumpul
dan setiap margin anterolateral memiliki Sembilan gigi yang berukuran sama.
Kepiting bakau memiliki capid yang kuat dan terdapat beberapa duri (motoh 1979
dan pery 2007).
f)
Nilai
Ekonomis
Kepiting bakau merupakan salah satu sumber hayati
perairan bernilai ekonomis tinggi. jenis kepiting ini telah di kenal baik di
pasaran dalm negeri maupun luar negeri karena rasa dagingnya yang lezat dan
bernilai gizi yang tertingi yakini mengandung berbagai nutrient penting.
Di Indonesia terdapat 4 jenis kepiting bakau yaitu Scylla serata, S. Teranquebarica, S.paramamosain dan S.olivacea. ke empat jenis kepiting bakau tersebut sangat potensial
untuk di budidayakan. Dengan ini kami sebagai agen kepiting dengan masa
sekarang sedang mencoba untuk membudidayakan kepiting bakau ini, karenah
mengharapkan tangkapan nelayan yang tidak dapat mencukupi pesan costumer di
berbagai wilaya Indonesia.
g)
Cara Makan
Kana (1991) mengemukakan bahwa pakan yang di berikan
untuk –potongan berupa daging ikan,
cumi-cumi, maupun daging udang, dan ukuran pakan juga disesuaikan dengan
kemampuan kepiting untuk mengcengkram pakan. Kepiting tergolong pakan segalah
(omnivore) dan pemakan bangkai (scavenger). Sedangkan larva kepiting memakan
plangton. Kepiting tergolong hewan nocturnal, pada saat siang hari kepiting
cenderung membenamkan dari atau bersembunyi didalam lumpur.
h)
Reproduksi
Seperti hewan air lainya reproduksi kepiting terjadi
di luar tubuh, hanya sajah sebagian kepiting meletakn telur-telur sang betina.
Kepiting betina bisanya segerah melepaskan telur sesaat setelah kawin, tetapi
sang betina memiliki kemampuan untuk menyimpan sperma sang jantan hingga
beberapa bulan lamanya. Telur yang akan di buahi selanjutnya di masukan pada
tempat (bagian tubuh) penyimpanan sperma. Setelah telur-telur ini akan di tempatkan
pada bagian bawah perut (abdomen).
Jumblah telur yang di bawah tergantung pada ukuran
kepiting. Beberapa spesies terdapat membawa puluhan hinga ribuan telur ketika
terjadi pemijahan. Telur ini akan menetas setelah beberapa hari kemudian
menjadi larva (individu baru) yang di kenal dengan “Zoea” ketika melepaskan
zoea keperairan, sang induk mengerak-gerakan perutnya untuk membantu zoea agar
dapat dengan mudah lepas dari abdomen. Larva kepiting selanjutnya hidup sebagai
plangton dan melakukan moulting beberapa kali hingga mencapai ukuran tertentu
agar dapat tinggal di dasar perairan sebagai hewan dasar (Prianto,2007).
4.2.2 Keong Bakau (cappuccino faunus ater).
a)
Klasifikasi
keong bakau (cappuccino faunus ater).
Phylum
: kerang-kerang
Class : Gastropoda
Unranked : clade
Caenogastropoda
clade Sorbeoconcha
clade Sorbeoconcha
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Pachychilidae
Genus : fanus
Spesies : f
ater
b)
Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan dimulai dari mulut di bagian depan, di dalam mulut terdapat lidah perut (radula) untuk “memarut” tumbuhan. Selanjutnya terdapat kerongkongan (esofagus), kemudian lambung (ventrikulus), usus (intestinum) yang berbelok ke depan lagi dan berakhir di anus. Anus terletak di mantel berdekatan dengan kepalanya. Di dekat lambung terdapat hati yang berwarna kecoklatan. Hati melingkar-lingkar menuju ke cangkang dan mengikuti belitan cangkang. Seperti pada umumnya Gastropoda Sumpil termasuk herbivora (pemakan tumbuh-tumbuhan). Biasanya Sumpil di sungai makan ganggang atau lumut yang cukup banyak bertebaran di pinggir-pinggir sungai.
Sistem pencernaan dimulai dari mulut di bagian depan, di dalam mulut terdapat lidah perut (radula) untuk “memarut” tumbuhan. Selanjutnya terdapat kerongkongan (esofagus), kemudian lambung (ventrikulus), usus (intestinum) yang berbelok ke depan lagi dan berakhir di anus. Anus terletak di mantel berdekatan dengan kepalanya. Di dekat lambung terdapat hati yang berwarna kecoklatan. Hati melingkar-lingkar menuju ke cangkang dan mengikuti belitan cangkang. Seperti pada umumnya Gastropoda Sumpil termasuk herbivora (pemakan tumbuh-tumbuhan). Biasanya Sumpil di sungai makan ganggang atau lumut yang cukup banyak bertebaran di pinggir-pinggir sungai.
c)Sistem Pernapasan dan Ekskresi
Sumpil bernapas menggunakan lapisan mantel yang berubah fungsi menjadi paru-paru sebagai tempat terjadinya pertukaran gas. Sistem pengeluaran (ekskresi) menggunakan alat pengeluaran cair yang disebut nephridia. Sistem saraf terdiri dari tiga pasang ganglia yang dihubungkan oleh saraf. Inderaanya berupa mata, statosit (alat keseimbangan), organ peraba, dan kemoreseptor (reseptor kimia).
Sumpil bernapas menggunakan lapisan mantel yang berubah fungsi menjadi paru-paru sebagai tempat terjadinya pertukaran gas. Sistem pengeluaran (ekskresi) menggunakan alat pengeluaran cair yang disebut nephridia. Sistem saraf terdiri dari tiga pasang ganglia yang dihubungkan oleh saraf. Inderaanya berupa mata, statosit (alat keseimbangan), organ peraba, dan kemoreseptor (reseptor kimia).
d)
Reproduksi gastropoda
Sumpil bersifat hermafrodit tetapi melakukan perkawinan silang. Maksudnya, sumpil ini tetap melakukan perkawinan dengan sumpil lainnya bukan hanya dengan dirinya sendiri. Sel telur dan spermatozoa dihasilkan oleh satu organ yaitu ovotesis. Jadi ovarium (penghasil ovum) dan testis (penghasil sperma) menjadi satu. Pemasakan sperma dan ovum tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada saat kopulasi, sperma disalurkan ke vas deferens kemudian dimasukkan ke vagina pasangannya dengan perantaraan penis yang dikeluarkannya. Ovum yaang dihasilkan ovotestes keluar ke saluran telur (oviduk) untuk di buahi sperma hewan lain.
Sumpil bersifat hermafrodit tetapi melakukan perkawinan silang. Maksudnya, sumpil ini tetap melakukan perkawinan dengan sumpil lainnya bukan hanya dengan dirinya sendiri. Sel telur dan spermatozoa dihasilkan oleh satu organ yaitu ovotesis. Jadi ovarium (penghasil ovum) dan testis (penghasil sperma) menjadi satu. Pemasakan sperma dan ovum tidak dalam waktu yang bersamaan. Pada saat kopulasi, sperma disalurkan ke vas deferens kemudian dimasukkan ke vagina pasangannya dengan perantaraan penis yang dikeluarkannya. Ovum yaang dihasilkan ovotestes keluar ke saluran telur (oviduk) untuk di buahi sperma hewan lain.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Kepiting bakau (Scylla serta), dan keong bakau (cappuccino
faunus ater), merupaka salah satu komoditas perairan yang hidup di perairan
pantai, khususnya di hutan-hutan bakau (mangrove). Dan kepiting bakau sangatlah
bernilai ekonomis pentin sebagai sumber makanan dengan pendapatan bagi
masyarakat. Sedangakan keong bakau (cappuccino
faunus ater), Sumpil termasuk ke dalam phylum mollusca,
nama ini cukup terkenal terutama di pedesaan bahkan karena terkenalnya sampai
ada desa yang bernama Sumpilan (Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman). Sumpil
kerap ditemukan hidup di kali atau sungai Van der Wijk, juga di areal
persawahan, sumpil juga bias di jadikan sebagi bahan obat-obatan karena di mana
sumpli sangatlah bernilai penting bagi masyarakat.
5.2
Saran
Penyusun
menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masi banyak kekurangan dan
kelemahan, maka dari itu saya mengharapkan kiranya teman-teman ataupun Asdos,
dapat memberikan kiritikan atau saran yang nantinya akan berguna untuk
memperbaiki hasil dari laporan yang saya buat ini sehinganya bias bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
(Anonim 2009: 1) Hewan Invertebrata. http://www.scribd.com/doc/27992321/-
invertebrata.
Diakses tanggal 2 Desember 2015.
Irmawati.2005. keaneka ragaman jeni keong bakau (cappuccino faunus ater). Di kawasn
mangrove, sungai keera kabupaten wojo Sulawesi selatan, lembaga ppenelitian
UNHAS, (online) (http://www.unhas.ac.id,
di akses pada tangal 5 Desember 2015:14:05).
(Masribut 1998: 43). Biology of The Invertebrates. Four
Edition. Mc Graw Hill
(soim 1994). Morfologi kepiting bakau Scylla serata. (http://malang.ac.id, diakses tanggal 3
Desember 2015:13:15).
wijaya idhanirmalasari, fredinan
yulianda mennofatria boerdan sri juwana, biologi populasi
kepiting bakau (scylla serata). di
habitat mangrove taman nasional kutai kabupaten kutai timur, jurnal aseonografi
dan limnology di indonesia (online), jilid 5 (http//scribd.com,di akses tanggal
2 Desember 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar